SELAMAT DATANG DI BLOG PERHIMPUNAN JURNALIS AJATAPPARENG (PIJAR). DAPATKAN BERITA AKTUAL SEPUTAR AJATAPPARENG DI BLOG INI. KARYA ANDA JUGA DAPAT DIMUAT, SILAHKAN KIRIM KE E-MAIL pijarcomunity@gmail.com TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN DAN PARTISIPASI ANDA

Rabu, 06 Februari 2008

Tentang Pengabdian

Cerpen Kritikan
Oleh : Abdillah.MS (Radio Elshinta Jkt)

Ini tentang kekecewaan. Ini tentang sebuah tuntutan. Dan ini tentang sebuah pengabdian.Ia masih saja berbicara. Bicara layaknya seorang orator yang sedang berpidato di depan ratusan orang.



Tujuannya jelas, hanya untuk menarik perhatian. Ia berceramah tentang hak dan kewajiban, bak seorang pemuka agama yang selalu mengumandangkan keadilan. Keadilan yang bagi mereka seperti mencari air di atas gurun pasir. Sangat gersang, dan sangat kecil kemungkinan bagi mereka untuk bisa mendapatkannya.

Perjuangannya hanya menghasilkan sebuah penantian panjang, seperti seorang anak kecil yang mengenakan baju super hero. Ia selalu membayangkan menjadi yang terkuat dan selalu datang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Tapi, tingkahnya seperti teriakan-teriakan anak kecil sambil berlari. Terasa sangat percuma. Dan akhirnya, ia sendiri merasa bosan karena selalu menjadi orang lain. Ia pun kemudian melepaskan baju yang ia kenakan. Dan sekarang berganti dengan baju kumal yang selama ini ia tutupi. Baju yang hanya membuatnya merasa gerah dan tidak betah. Baju yang penuh dengan debu dan kotoran, setelah seharian ia bermain-main di atas lumpur. Memang, ia berhasil mengajak teman-teman sebayanya untuk bermain bersama. Tapi, itu hanya sesaat saja. Tak ada yang berlangsung lama. Nampak sangat abstrak. Semuanya terasa kosong.

Kejadian berikutnya adalah, mereka mendapatkan amarah karena dianggap telah bergumul dalam kotoran yang bisa menimbulkan penyakit kronis yang bisa membunuh orang satu rumah. Si orang tua mereka pun lantas menyuruh mereka masuk dan membersihkan diri, karena takut rumah mereka hanya akan dijadikan sebagai sarang virus dan bakteri berbahaya.

Ini tentang kekecewaan. Ini tentang sebuah tuntutan. Dan ini tentang sebuah pengabdian.
Anak kecil, tetap saja anak kecil. Mereka kembali membicarakan peran mereka masing-masing saat mengenakan baju super hero. Sungguh sangat meriah. Bagi mereka, terlalu sayang untuk dilepaskan, karena memang sangat menarik. Ini hanya masalah waktu saja, ini hanya masalah kesempatan yang membutuhkan keberanian sampai kahirnya mereka sadar, bahwa peran mereka hanya ada dalam cerita. Hanya ada dalam televisi. Dan hanya ada dalam dunia maya.

“Ini kesalahan manajemen.”
“Maksud kamu….?.”
“Setiap orang tidak boleh melewati batas.”
“Batas apa…?.”
“Batas tindakan dan kewenangan untuk menetapkan kebijakan, karena itu sangat sensitif untuk disentuh.”

Ia masih saja berbicara. Ia mengibaratkan perjalanan yang ia lakukan adalah sebuah perlombaan dayung. 15 orang mendayung sebuah perahu berkepala naga di atas danau yang tak pernah bertepi. Start pertama, puluhan meter dilalui dengan ringan. Semuanya berjalan dengan lancar dan penuh dengan semangat.Tapi, setelah sampai di pertengahan, si Nakhoda mulai terdiam. Tidak ada lagi teriakan-teriakan yang memicu jantung anak buahnya untuk bergerak lebih cepat lagi. Mereka pun mulai canggung. Satu persatu mulai memperlambat gerakan, hingga tinggal beberapa orang yang masih saja tetap bertahan untuk berjalan.

Ini tentang kekecewaan. Ini tentang sebuah tuntutan. Dan ini tentang sebuah pengabdian.
Mereka seakan tak pernah merasa basi untuk membicarakan topik itu. Selalu saja hangat untuk diperbincangkan, bahkan untuk diperdebatkan. Tapi sayang, semuanya tidak sejalan dengan tindakan. Tentu saja, karena itu semua hanyalah omong kosong. Dan bukan hanya di kantor, bahkan perbincangan itu sampai juga di warung kopi, bak para politisi yang saat ini lebih senag untuk membicarakan hal-hal yang bersifat politisi di warung-warung kopi. Memang terasa sangat mengenakan. Bagi mereka, sangat sayang untuk dibiarkan begitu saja berjalan. Ini hanyalah masalah kesempatan saja. Mereka hanya punya waktu, tetapi sayang tidak punya kuku untuk mencengkram. Mereka hanya punya lidah, tetapi tidak punya gairah yang akhirnya berujung para perasaan resah. Mereka hanya punya otak, tetapi tetapi tidak punya gertak yang akan mebuat mereka kuat. Karena ini hanya masalah pengabdian.

“Kita tidak bisa seperti ini terus...!.”
“Tetapi apa daya kita…?.”
“Itulah yang harus kita pikirkan sekarang.”
“Sampai kapan pun tidak akan pernah berhasil.”
“Jangan pesimis.”
“Ini bukan masalah pesimis, ini berkaitan dengan kemaslahatan.”
“Tetapi, bagimana kemaslahatan akan tercapai, jika kita pesimis.”

Hanya dialog itu yang selalu terdengar. Hanya celotehan burung camar kecil yang tidak punya nyali untuk menyeruak lautan untuk mendapatkan seekor ikan guna dimakan. Hanya ada kebingungan. Terus saja terbang di atas air, sambil meneriakkan kebenaran. Tapi sebuah kebenaran yang tak pernah terbukti, dan tidak pernah menjadi kenyataan. Saat ini, yang ada hanya ketakutan. Dan yang ada hanya kekecewaan. Karena ini seudah menjadi pengabdian.

“Lihatlah mereka yang telah berjaya sekarang. Itu semua karena mereka punya keberanian.”
“Keberanian….?.”
“Ya….!. Kita tidak boleh takut, jika kalian menginginkan perubahan.”
“Ha….perubahan. Jangan pernah bermimpi.”
“Kalian selalu saja kala sebelum berperang.”

Dialog itu hanya membuat suasana semakin panas. Tak ada peredam yang bisa mendinginkan keadaaan. Tak ada mentari sejuk yang datang menerobos lobang-lobang genteng dan gorden, sekedar untuk memberikan pencerahan. Terasa sangat panas.

Ini tentang kekecewaan. Ini tentang sebuah tuntutan. Dan ini tentang sebuah pengabdian.
Ia masih saja berteriak dengan lantang. Ia memberanikan diri untuk bertindak, tapi berhenti karena di cap sebagai pemberontak. Ia merasa terkungkung. Ia menginginkan menjadi seorang Munir, tapi tak pernah mempunyai kekuatan untuk menciptakan kebersamaan. Sekali lagi, hanya dalam ocehan-ocehan, bualan, dan teori-teori yang masih membutuhkan pembuktian. Smenetara mereka melihat ada sebuah gunung tinggi yang terlalu tinggi untuk di daki. Terlalu curam untuk dipanjat. Dan gunung itu terlalu kokoh untuk dirobohkan. Tapi, ia terus saja berusaha untuk naik.

Kendati kakinya terasa sangat sakit. Sementara itu, jari-jarinya terasa kram. Sebuah perjuangan yang mungkin baginya bisa menghasilkan kebanggaan. Ia tahu dengan sebenar-benarnya, gunung itu terlalu angkuh. Ia merasakan dengan kepekaan hatinya, gunung itu terlalu berbahaya.

“Tidaklah kalian lihat, kita sekarang sudah berada diambang kehancuran.”
“Kami melihatnya…”
“Lantas…kenapa kalian diam. Saya membutuhkan dukungan kalian untuk melakukan perubahan.”
“Dukungan seperti apa….?.”
“Masa kalian tidak bisa berpikir….!.”
“Sudahlah, hentikan ocehanmu itu. Dan biarkan semuanya berjalan dengan apa adanya.”

Ini tentang kekecewaan. Ini tentang sebuah tuntutan. Dan ini tentang sebuah pengabdian.
Sementara itu, si juru kunci terus saja membual dengan janji-janjinya. Si juru kunci hanya terus berkoar-koar, tapi ucapannya bagaikan susu basi yang hanya akan membuat kami muntah-muntah. Yach….karena memang tak pernah terbukti. Dan kami sudah bosan. Kami tak percaya lagi. Kami siap-siap untuk pergi. Karena kami tak melihatnya lagi sebagai susu murni yang bisa menyegarkan tubuh kami.