SELAMAT DATANG DI BLOG PERHIMPUNAN JURNALIS AJATAPPARENG (PIJAR). DAPATKAN BERITA AKTUAL SEPUTAR AJATAPPARENG DI BLOG INI. KARYA ANDA JUGA DAPAT DIMUAT, SILAHKAN KIRIM KE E-MAIL pijarcomunity@gmail.com TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN DAN PARTISIPASI ANDA

Selasa, 29 Januari 2008

"MACCERA MANURUNG" PESTA ADAT YANG MENJADI PESAN LELUHUR

Oleh: Abdillah.Ms (Radio Elshinta)
Lokasi: KAbupaten Enrekang/ Sulsel

Untuk mengungkapkan rasa syukur atas keberhasilan tanaman pertaniaan, masyarakat desa Taulan, kecamatan Cendana, kabupaten Enrekang, Sulawesi selatan, menggelar pesta adat maccera manurung. Pesta adat ini hanya di lakukan dalam delapan tahun sekali, tak heran, jika perhelatan ini di gelar, banyak warga Enrekang yang berada di perantauaan menyempatkan diri pulang kampung sekedar untuk mengikuti prosesi adat tersebut.



Masyarakat di daerah yang berhawa sejuk ini mengenal upacara adat maccera manurung sejak ratusan tahun yang lalu, upacara adat tersebut di pimpin oleh tetua adat setempat dan berlangsung dalam beberapa tahapan, prosesi awal yakni menabuh gendang semalam suntuk yang bertujuaan untuk membangkitkan tanah.

Masyarakat setempat meyakini, tanah adalah inti dari seluruh jagat, sehingga warga setmpat meyakini, tanah inilah yang pertama kali harus di bangunkan. Sementara gendang yang di tabuh adalah sebuah gendang tradisioanal yang hanya di keluarkan saat upacara adat ini di langsungkan.

Orang-orang yang hadir menyaksikan upacara adat tersebut biasanya berusaha merebut kayu-kayu penabuh yang berjatuhan di sekitar gendang, warga percaya kayu-kayu tersebut memiliki ke ampuhan mengobati berbagai macam penyakit. Ritual menabuh gendang tua yang di anggap keramat itu di lakukan pada hari jumat.

Ke esokan harinya warga yang melagsungkan hajatan ini kemudian melakukan penyembelian hewan berupa kerbau, daging kerbau tersebut di masak secara bergotong royong oleh sejumlah kaum perempaun yang hadir dalam pelaksanaan ritual adat itu, daging kerbau ini nantinya akan di santap oleh para tamu undangan.

Ritual berikutnya adalah Majjaga. Dalam acara ini di persembahkan tari-tarian yang di anggap sebagai simbol kesetiaan kepada sang raja dan kerajaan. Para penari yang di dominasi oleh kaum lelaki ini, menari dengan bertelanjang dada di tengah hawa yang sangat dingin.

Ritual selanjutnya adalah Liang wae, yakni mengeluarkan air dari pusat bumi. Mereka melakukan ritual ini di awali dengan berdoa di sebuah lubang sumber mata air yang terletak di tengah hutan yang ketinggiannya mencapai 1.000 Meter di atas permukaan laut.

Saat mereka berdoa, air tersebut akan memancar keluar dari lubangnya. Jika mata air tidak memancar biasanya masyarakat yang berda di kabupaten Enrekang ini harus bersiaga dengan kemungkinan buruk seperti gagal panen, atau biasanya ada warga kampung yang menjadi gila.

Sebaliknya jika mata air tersebut memancar, air itu akn menjadi rebutan. Para perantau yang sudah lama meninggalakan Kabupaten Enrekang, biasanya paling bersemangat memperebutkan air yang keluar dari sumber mata air itu.

Arifuddin salah seorang warga perantauaan asal Enrekang kepada Pijar mengatakan, setiap pelaksanaan ritual adat maccera manurung ini di gelar, ia beserta anak dan istrinya selalu menyempatkan diri untuk hadir, biasanya bapak dua anak ini membawa pulang air yang bersal dari sumber mata air di desa Taulan tersebut.

Sebab ia meyakini air itu dapat membawa berkah” Air yang biasanya keluar dari sumber mata air yang memancar pada saat pelaksanaan pesta adat ini berlangsung saya yakini bisa membawa berkah atau membawa rezki bagi yang menyimpannya” ungkap Arif.

Prosesi akhir yang merupakan puncak dari rangkaian uapacara adat Maccera Manurung ini adalah Mappeong, warga setempat meyakini pemberian persembahan kepada leluhur ini, di berikan sebagai ungkapan rasa syukur atas rezki yang telah di peroleh masyarakat selama delapan tahun.

Dalam prosesi Mappeong ini di siapkan beberapa macam makanan diantaranya pisang,ketupat,telor ayam,pinang, daun sirih,beras pulut yang di masak di dalam batang bambu atau warga setempat mengenalnya dengan nama Lemmang. sesajian ini di gabung dalam satu wadah dengan di alasi daun waru, kemudian sesajian tersebut di bagikan kepada para tokoh adat yang merupakan keturunan dari puang Kamummu.

Puang Kamummu inilah yang merupakan leluhur yang kerap menyampaikan pesan pesan khusus kepada anak cucunya, sebelum penyampaian pesan dari leluhur mereka ini, sebuah parang yang merupakan pusaka peninggalan puang Kamummu ini, di cuci dengan air kelapa muda yang di lakukan oleh para tokoh adat setempat, konon parang tersebut gagannya terbuat dari tanduk kuda. dan parang pusaka inilah yang sekarang menjadi lambang daerah Kabupaten Enrekang, Sulawesi selatan.

Parang pusaka yang telah di cuci tersebut di arak keliling rumah sebanyak tiga kali dan di iringi dengan Adzan, ini di lambangkan sebagai simbol mengusir hal-hal buruk yang ingin masuk ke desa Taulan itu, warga berharap pelaksanaan pesta adat Maccera Manurung ini dapat mendatangkan hal-hal yang baik dan limpahan rezki yang berlipat ganda dari yang maha pencipta penguasa alam semesta. (pijar)

Selengkapnya »»

Makelar Tenaga Kerja

Oleh : Abdillah.Ms
Cerpen Kritikan

Raut muka seorang ibu tiba-tiba saja pucat-pasih. Air mata turun menetes di kedua pipinya yang sudah mulai keriput karena termakan usia. Entah apa yang ada dalam pikiran ibu tentang anak perempuannya yang bernama Ari, yang saat ini keberadaannya entah dimana.



Semua pihak keluarga telah mencarinya, tapi belum juga ada kabarnya.
Ibu bersama dengan bapak dan anggota keluarga yang lain, duduk di sofa yang ada di ruang tamu dengan perasaan cemas. Bapak yang berada di samping ibu, terus mengelus-elus punggung ibu sambil mengeluarkan kata-kata untuk menenangkan perasaan ibu. Tapi, usaha itu nampaknya sia-sia belaka.

Tidak lama, ibu beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke dalam kamar depan yang biasa ditempati tidur oleh kakak pertama bersama dengan istrinya. Di dalam kamar, tangisan ibu semakin menjadi-jadi. Bahkan, ibu sesekali berteriak memanggil-manggil nama anaknya.

“Dimana kamu sekarang nak. Apakah kamu baik-baik saja sekarang….?,” begitu teriak ibu yang dibarengi dengan tangisan.

Entah musibah apa yang sedang menimpa keluargaku. Tanpa kabar yang jelas, Mba Ari menghilang. Padahal, sebelumnya dia berangkat ke kota dengan senyum dan tawa karena harapan yang tinggi untuk memperoleh keberhasilan di kota . Namun, kegembiraan itu lenyap begitu saja.
]
Kini, yang ada hanya kecemasan. Kecemasan akan keselamatannya, dan beribu-ribu rasa cemas yang bercampur menjadi satu. Begitu banyak pikiran berkecamuk menyelimuti keluargaku. “Mungkinkah dia sekarang sehat-sehat saja…?. Semoga saja memang demikian keadaannya.” Seperti itulah yang pertanyaan yang serentak muncul dalam pikiran semua keluargaku, termasuk aku yang sebelumnya tidak tahu jika kakak keduaku pergi meninggalkan rumah untuk bekerja di kota .

Sore itu, aku memang baru sampai di rumah. Belum hilang rasa lelah dalam tubuhku setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dari pondok pesantren, aku dikejutkan oleh jerit tangis ibu. Aku sempat penasaran. Tapi aku berusaha untuk tidak berpikir macam-macam. Aku menduga, bahwa ada salah seorang anggota keluarga yang meninggal dunia atau yang lainnya.

Dengan tergesa-gesa, aku kemudian ikut duduk bersama anggota keluarga lainnya di sofa depan. Dengan serius, semua anggota keluargaku mendengarkan cerita yang disampaikan oleh adik laki-laki ibu bernama Trisno yang baru pulang dari rumah orang yang mengajak kakakku pergi ke kota dengan iming-iming pekerjaan pada sebuah perusahaan roti.

Namun, jawaban yang diperoleh Om Tris, begitu biasa aku memanggilnya, ternyata tidak sesuai dengan harapan. Om Tris justru tidak memperoleh jawaban dimana keberadaan Mba Ari. Apa yang diceritakan oleh orang tua dari orang yang mengajak Mba Ari pergi ke kota terkesan ngelantur. Bukan keberadaan Mba Ari yang diceritakan, tapi jutsru kisahnya saat menghadapi tentara Jepang dulu saat mempertahankan Indonesia .

Hal ini akhirnya membuat Om Tris gerah. Dengan nada tinggi, Om Tris mengancam akan melaporkan hal ini ke pihak kepolisian. Usaha ini ternyata berhasil. Tidak lama, orang tua yang ditemui Om Tris mau menghubungi anaknya untuk mempertanyakan keberadaan dan keadaan Mba Ari. Namun, orang tua tersebut meminta waktu selama tiga hari.

“Saya ancam dia, bahwa saya akan melaporkan kejadian ini ke polisi. Terus terang, saya juga jengkel dengan ulah orang tua ini. Bukannya memberi jawaban, malahan cerita ngalor-ngidul yang ngga jelas…!,” kata Om Tris di depan keluargaku. “Tapi saya bersyukur, itu membuat dia mau mencari tahu tentang keberadaan Ari,” lanjutnya.

***

Sudah tiga hari berlalu, tapi kabar tentang Mba Ari belum juga terdengar sampai di telinga keluargaku. Pihak keluarga pun semakin cemas memikirkan keberadaan Mba Ari. Perasaan takut bahwa dia terjerembab dalam dunia hitam karena tayangan berita di televisi yang menayangkan tentang penjualan perempuan untuk dijadikan sebagai Pekerja Seks Komersil (SPK) pun semakin kuat. (pijar)

Selengkapnya »»